Far away… This ship is taking me far away… Far away from the
memories of the people who care if I live or die…
Potongan lirik lagu Starlight dari Muse di atas mungkin bisa
menggambarkan apa yang saya fikirkan saat ini. Terbawa oleh kapal yang saya naiki entah kemana. Jauh ke arah yang tak menentu dibandingkan kapal-kapal lainnya. Bagaimana tidak? Ketika
teman-teman saya sudah one step ahead in front of me, saya malah masih jalan di
tempat. Salah satu teman saya sudah sejak semester 7 silam mengajar di sebuah
sekolah menengah pertama sebagai guru honorer. Sebuah hal yang terasa amat sulit untuk saya capai, setidaknya untuk saat ini. Teman saya satu lagi (sebut saja namanya Mawar) telah
diangkat menjadi asdos di lembaga yang selama 4 tahun terakhir ini saya menimba ilmu di sana. Dua orang teman saya malah ada yang sudah
daftar ke Pasca Sarjana untuk melanjutkan studinya hingga S-2. Untuk contoh yang
terakhir saya tidak mau banyak komentar karena memang saya tidak punya
niatan untuk langsung lanjut S-2. Karena selain masalah biaya, juga karena saya
memang ingin kerja terlebih dahulu, S-2 bisa lain waktu. Ibarat mereka sudah membangun gedung hingga lantai ke-3, saya malah masih bingung mencari bahan untuk membuat pondasi.
Bukannya iri terhadap mereka tetapi lebih kepada menyalahkan
diri sendiri yang selalu tidak mampu mengejar. Ya, dalam segala hal dan setiap waktu,
saya memang selalu tertinggal dibanding teman-teman sebaya saya dari dulu
hingga sekarang. Entah apa penyebabnya, yang pasti itu seperti sudah menjadi
bad behavior bagi saya. Sebagai contoh, ketika jaman saya kecil dulu sedang
heboh-hebohnya permainan mobil balap kecil yang bernama Tamiya, saya sama
sekali tidak tertarik. Tapi ketika animo ketertarikan orang-orang terhadap Tamiya tersebut
mulai menurun, saya malah mulai suka dan mulai membeli mobil mini tersebut beserta asesorisnya yang berharga mahal yang membuat saya rela untuk tidak jajan selama seharian. Padahal saat itu usia saya kelas 1 SMP dimana teman sebaya saya
sudah beralih ke permainan PS2. Begitu juga kelanjutannya, ketika teman-teman
lain sudah lancar bermain PS2 saya malah baru mulai belajar bagaimana cara mengoper dan menendang bola di game Winning Eleven.
Hal-hal semisal di atas terus berlangsung dan banyak sekali
contohnya. Misalnya lagi, ketika SMA, teman-teman seusia saya sudah memiliki
handphone, saya malah masih menggunakan telepon rumah untuk berkomunikasi.
Ketika handphone mereka sudah diupgrade menjadi HP yang ada mp3 playernya, saya malah baru memiliki HP yang cuma bisa menyetel radio, tanpa mp3 player, tanpa
kamera, itupun boleh dapat dari hadiah. Di saat teman sebaya telah fasih
lagu-lagu berbahasa Inggris, saya malah baru mulai menyukainya. Ketika kuliah,
disaat teman-teman telah mulai mengajar di tempat-tempat les bahkan sejak
semester 1 kuliah, saya malah baru memulai ngajar ketika semester 4. Ketika orang-orang memiliki BB sebagai alat komunikasi sekaligus gengsi, saya malah masih memakai HP china. Ketika android sedang merajalela, saya malah masih menggunakan BB yang bisa dibilang bukan sebuah smartphone lagi ini. Why always
left behind?
Sejak kecil memang saya tidak begitu akrab dengan dunia
luar. Mengurung diri di rumah dengan menonton film kartun sudah seperti rutinitas yang wajib bagi
saya ketika kecil. Paling-paling main dengan teman lingkungan rumah ketika hari
Sabtu dan Minggu aja. Ibarat peribahasa, seperti katak dalam tempurung. Sikap ayah saya yang tidak teralu pandai dalam mengarahkan anaknya demi meraih masa depan mungkin salah satu
hal yang menjadi penyebabnya. Alih-alih mengarahkan anaknya bagaimana menghadapi hidup, beliau malah bersikap
strict dan otoriter dengan begitu ketatnya mengawasi kegiatan anak-anaknya dalam bergaul dengan teman sebaya. Bisa memberi nafkah yang cukup bagi keluarga sudah merupakan sesuatu yang amat saya syukuri dan banggakan dalam diri ayah saya. Ibu saya terlalu sibuk dengan dua orang adik saya yang ketika itu masih mungil-mungil membuatnya tidak bisa fokus terhadap perkembangan diri saya yang dianggapnya sudah bisa mandiri. Memang merupakan sebuah ketidakberuntungan tumbuh di masa remaja yang masih labil dengan keadaan seperti itu, tapi mau bagaimana lagi, toh ketika lahir ke dunia ini kita tidak bisa memilih untuk lahir dalam keluarga yang kita inginkan begini dan begitu.
Contoh-contoh di atas mungkin tidak relevan, terlalu berlebihan atau bahkan menyedihkan. Tapi seperti yang saya bilang di awal bahwa saya tidak ingin
menyalahkan siapapun, juga tidak ingin iri terhadap siapapun. Percuma juga toh semua telah berlalu. Melihat kepada diri
sendiri mungkin lebih baik saat ini. Namun karena hidup ini terlalu singkat
untuk ditangisi, saya lebih memilih untuk enjoy the ride. Karena setidaknya saya masih memiliki sisi lain dari hidup ini yang belum tentu orang lain miliki. Bukankah hidup tak harus selalu sama?
_________________________________
Baca juga: